Minggu, 20 Mei 2018

TOILET DAN DOGMA

YangTOILET DAN DOGMA

Yang ditakutkan, jika sebuah tradisi diikatkan kepada agama, dan menjadi doktrin hingga menjadi sebuah dogma. Seperti yang dicontohkan dalam film "Toilet" yang dibintangi Aksay Kumar ini.

Di India, ada beberapa desa yang masyarakatnya tidak mempunyai toilet. Setiap mau buang air besar/kecil untuk yang perempuan harus dini hari menjelang fajar, berjalan jauh ke semak-semak sambil membawa oplet dan air. Sedangkan untuk laki-laki bebas kapan saja yang penting bisa sembunyi entah di balik semak-semak, pohon besar, atau hanya sekedar membelakangi jalan raya.

Tradisi "tidak mempunyai toilet" ini berlangsung lama, dan masyarakat sebagian besar masih merasa nyaman. Konon yang demikian merupakan ajaran leluhur untuk menjaga kesucian rumah dari kotoran manusia. Hingga suatu ketika ada pemuda di desa tersebut menikah dengan perempuan dari desa lain, yang terbiasa dengan "toilet" sejak kecil, tentu baginya merasa tabu jika buang air besar/kecil di tempat terbuka.

Iapun memberontak kemapanan berpikir suami, mertua, dan masyarakat desa suaminya. Ia ditentang dan dicemooh hanya gara-gara menuntut suaminya agar membangun toilet, dan iapun menggugat cerai suaminya. Sebenarnya gugatan cerai yang dilakukan atas persetujuan suaminya, mereka berdua ingin menjadi "martir kesadaran" bagi semua orang, khususnya bagi perempuan-perempuan desa yang masih mengangap pergi kesemak-semak dini hari merupakan perintah agama. Akhirnya, terciptalah gerakan revolusioner Emma'-emma' mengancam gugat cerai suami masing-masing agar membangun toilet. Rupanya "the power of Emma'-emma'"  menuaikan hasil.

Keengganan masyarakat untuk membangun toilet di rumahnya dalam film ini, sekurang-kurangnya ada kesamaan dengan orang yang menganggap "jenggot" merupakan ajaran Islam bagi sebagian Muslim.

Pada kontek ini, bersepakat dengan pendapat yang mengharuskan memilah-milah mana ajaran Agama dan mana tradisi terasa sangat penting, agar terhindar kesulitan yang tak berarti. Tapi bukan berarti tradisi tak ada nilainya, sebuah ajaran yang bersumber dari tradisi tetap diambil sejauh mana tradisi tersebut masih bernilai aksiologis, sebagaimana qaidah المحافظة على قديم الصالح والاخد بالجديد الاصلح

Nah, sekarang ini seolah kita di bawa pada kondisi pemahaman keagamaan yang lebih memunculkan pertentangan, yang ujung-ujungnya jika berbeda maka dianggap salah. Semacam mendebatkan epistemologi sebuah ajaran, dengan pakem oposisi biner, yang satu salah dan yang satunya benar, padahal itu perbedaan pada segi furu'iyah (cabang) ajaran agama, yang ijtihadnya berdasarkan geografis serta pemahaman mujtahid itu sendiri.

Namanya juga ijtihad, dan yang melakukan ijtihad adalah mujtahid dengan pemahaman "kemaslahatan" yang berbeda antar mujtahid, dan pengikutnya bersikap taqlid begitu saja, karena berhusnudzon kepada keilmuan Mujtahidnya.

Barangkali film komedi "TOILET" perlu ditonton, untuk sekedar tau, dan menjadi bekal memilah ajaran Agama murni dan mana ajarab tradisi yang ditempelkan kepada agama. ditakutkan, jika sebuah tradisi diikatkan kepada agama, dan menjadi doktrin hingga menjadi sebuah dogma. Seperti yang dicontohkan dalam film "Toilet" yang dibintangi Aksay Kumar ini.

Di India, ada beberapa desa yang masyarakatnya tidak mempunyai toilet. Setiap mau buang air besar/kecil untuk yang perempuan harus dini hari menjelang fajar, berjalan jauh ke semak-semak sambil membawa oplet dan air. Sedangkan untuk laki-laki bebas kapan saja yang penting bisa sembunyi entah di balik semak-semak, pohon besar, atau hanya sekedar membelakangi jalan raya.

Tradisi "tidak mempunyai toilet" ini berlangsung lama, dan masyarakat sebagian besar masih merasa nyaman. Konon yang demikian merupakan ajaran leluhur untuk menjaga kesucian rumah dari kotoran manusia. Hingga suatu ketika ada pemuda di desa tersebut menikah dengan perempuan dari desa lain, yang terbiasa dengan "toilet" sejak kecil, tentu baginya merasa tabu jika buang air besar/kecil di tempat terbuka.

Iapun memberontak kemapanan berpikir suami, mertua, dan masyarakat desa suaminya. Ia ditentang dan dicemooh hanya gara-gara menuntut suaminya agar membangun toilet, dan iapun menggugat cerai suaminya. Sebenarnya gugatan cerai yang dilakukan atas persetujuan suaminya, mereka berdua ingin menjadi "martir kesadaran" bagi semua orang, khususnya bagi perempuan-perempuan desa yang masih mengangap pergi kesemak-semak dini hari merupakan perintah agama. Akhirnya, terciptalah gerakan revolusioner Emma'-emma' mengancam gugat cerai suami masing-masing agar membangun toilet. Rupanya "the power of Emma'-emma'"  menuaikan hasil.

Keengganan masyarakat untuk membangun toilet di rumahnya dalam film ini, sekurang-kurangnya ada kesamaan dengan orang yang menganggap "jenggot" merupakan ajaran Islam bagi sebagian Muslim.

Pada kontek ini, bersepakat dengan pendapat yang mengharuskan memilah-milah mana ajaran Agama dan mana tradisi terasa sangat penting, agar terhindar kesulitan yang tak berarti. Tapi bukan berarti tradisi tak ada nilainya, sebuah ajaran yang bersumber dari tradisi tetap diambil sejauh mana tradisi tersebut masih bernilai aksiologis, sebagaimana qaidah المحافظة على قديم الصالح والاخد بالجديد الاصلح

Nah, sekarang ini seolah kita di bawa pada kondisi pemahaman keagamaan yang lebih memunculkan pertentangan, yang ujung-ujungnya jika berbeda maka dianggap salah. Semacam mendebatkan epistemologi sebuah ajaran, dengan pakem oposisi biner, yang satu salah dan yang satunya benar, padahal itu perbedaan pada segi furu'iyah (cabang) ajaran agama, yang ijtihadnya berdasarkan geografis serta pemahaman mujtahid itu sendiri.

Namanya juga ijtihad, dan yang melakukan ijtihad adalah mujtahid dengan pemahaman "kemaslahatan" yang berbeda antar mujtahid, dan pengikutnya bersikap taqlid begitu saja, karena berhusnudzon kepada keilmuan Mujtahidnya.

Barangkali film komedi "TOILET" perlu ditonton, untuk sekedar tau, dan menjadi bekal memilah ajaran Agama murni dan mana ajarab tradisi yang ditempelkan kepada agama.

SHARE THIS

0 coment rios: